Kisah Jauhari Tantowi & Sekolah Pesisi Juang “Menghadirkan Pendidikan Gratis bagi Anak Nelayan di Pesisir Lombok”
- October 21, 2025
- By Lidya Fitrian
- 0 Comments
Di pesisir Pantai Bintaro, di ujung barat Pulau Lombok, banyak masyarakat yang menganggap pendidikan sebagai sebuah kemewahan.
Ya, bagi banyak keluarga nelayan di sana, laut adalah sekolah pertama, terakhir, sekaligus satu-satunya tempat belajar yang dianggap perlu.
Anak-anak tumbuh besar dengan timangan ombak dan mainan jaring ikan. Sejak kecil tangan mereka lebih akrab dengan tali perahu dibandingkan buku pelajaran.
Di wilayah pesisir seperti ini, melanjutkan sekolah bukan hanya tentang kemauan, tetapi tentang kemampuan bertahan hidup.
Di tengah ketimpangan inilah nama Jauhari Tantowi muncul bagai pelita kecil yang perlahan namun pasti menyinari anak-anak di kampung nelayan tersebut.
Ketimpangan Pendidikan di Pesisir
Masalah pendidikan di daerah pesisir sering kali tidak terlihat di permukaan. Tidak seperti isu gedung roboh atau ketiadaan guru, persoalan di Pantai Bintaro jauh lebih senyap, tetapi dampaknya panjang... Maksud saya, anak-anaknya ada, sekolahnya juga ada, tetapi banyak diantara mereka yang memilih untuk tidak bersekolah.
Banyak anak nelayan yang akhirnya berhenti sekolah bukan karena tidak mampu memahami pelajaran, melainkan karena tidak ada dukungan moral dan ekonomi untuk melanjutkannya.
Sejak kecil mereka sudah “dipersiapkan” untuk menggantikan orang tuanya di laut. Masa depan didefinisikan dari jumlah ikan yang dibawa pulang, bukan dari halaman buku yang selesai dibaca.
Kondisi ini memburuk saat pandemi COVID-19 melanda. Ketika pendidikan terpaksa harus dipindahkan ke ruang digital, sementara bagi masyarakat pesisir jangankan memiliki smartphone untuk mengakses pendidikan di ranah digital, untuk bertahan hidup saja mereka masih harus berjuang keras. Dari sini masalah yang sebelumnya samar mendadak menjadi nyata.
Saat Anak Harus Menyewa Hp untuk Sekolah
Tahun 2020, ketika sekolah pindah ke mode daring, anak-anak pesisir tidak hanya tertinggal dalam pelajaran, mereka juga tertinggal dari realitas sosial baru.
Banyak dari mereka terpaksa menyewa handphone per jam agar tetap bisa mengikuti kelas online. Sebagian tidak punya kuota, sebagian lagi harus berbagi satu ponsel dengan empat atau lima temannya. Akibatnya, banyak yang tidak mengikuti pembelajaran sama sekali.
Hal inilah yang membuat Jauhari merasa terpanggil. Ia menyaksikan sendiri bagaimana pendidikan yang seharusnya menjadi hak anak-anak, justru berubah menjadi beban tambahan.
Bagi sebagian keluarga nelayan, membayar sewa ponsel lebih tidak masuk akal daripada membeli solar untuk perahu. Dari rasa tidak tega itulah, benih perubahan tumbuh.
Lahirnya Sekolah Pesisi Juang
Bersama tujuh rekannya, Jauhari memutuskan untuk bergerak mendirikan Sekolah Pesisi Juang pada 2020. Ini adalah sebuah sekolah non-formal yang lahir bukan dari ruang kelas, tetapi dari ruang kepedulian.
![]() |
| source : forumrelawanliterasintb |
Awal kegiatan belajar sangat sederhana. Mereka menggelar kelas tiga kali seminggu, menumpang di teras rumah warga di tepi pantai. Anak-anak berkumpul duduk lesehan dengan buku-buku sumbangan seadanya.
Tidak ada pagar, tidak ada papan tulis permanen, tidak ada seragam. Sekolah Pesisi Juang lahir dari kesadaran bahwa-anak pesisir tidak bodoh, mereka hanya tidak diberi ruang untuk tumbuh.
Di tempat ini anak-anak belajar menghafal pelajaran, belajar membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan juga belajar berbicara, saling menghargai, memahami diri, dan bermimpi tentang masa depan yang berbeda.
Metode Belajar, Peran Relawan, dan Perjuangan Membangun Kepercayaan Warga
Ketika Sekolah Pesisi Juang berdiri, tantangan terbesar mereka bukanlah mencari murid, tetapi meyakinkan para orang tua agar mampu menyekolahkan anak-anak mereka.
Banyak orang tua nelayan yang berpikir bahwa sekolah hanya membuang waktu saja. Bagi mereka, anak-anak yang turun ke laut berarti tambahan tenaga dan tambahan penghasilan. Pendidikan? Meskipun gratis dianggap tidak menjanjikan apa-apa.
Jauhari dan timnya tahu bahwa keberlanjutan sekolah tidak bisa hanya bertumpu pada idealisme, tetapi harus dibangun dari kepercayaan sosial.
Karena itu, sebelum mengajar anak-anak, mereka terlebih dulu mendatangi rumah-rumah warga untuk berdialog dan mendengar keresahan warga, sembari menjelaskan tujuan mereka.
Ketika orang tua mulai melihat kehadiran sekolah sebagai bentuk dukungan, bukan ancaman terhadap peran ekonomi keluarga, pintu kepercayaan itu perlahan terbuka.
Pada hari pertama, murid yang datang hanya dua orang. Seminggu kemudian bertambah menjadi enam orang. Sebulan kemudian jumlahnya sudah menjadi belasan. Saat ini, puluhan anak rutin mengikuti pembelajaran sampai sekarang.
Ruang kelas mereka berkembang dari teras rumah, berpindah ke halaman kecil, kemudian ke area yang lebih layak. Bukan karena dana melimpah, tetapi karena makin banyak warga yang percaya dan ikut terlibat.
Metode Belajar yang Menyenangkan
Salah satu hal yang membuat anak-anak betah adalah cara mengajar yang tidak menggurui. Alih-alih hanya duduk dan menyalin tulisan dari papan tulis, pembelajaran dirancang agar relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Di Sekolah Pesisi Juang, proses belajar tidak berlangsung kaku seperti di ruang kelas formal. Pelajaran selalu dihubungkan dengan kehidupan mereka sehari-hari sebagai anak pesisir.
Misalnya menghitung menggunakan hasil tangkapan ikan, belajar membaca lewat papan informasi nelayan, atau mengamati pergerakan ombak sebagai bagian dari materi sains sederhana. Kelas pun sering berlangsung di ruang terbuka dengan latar laut, agar anak-anak tetap merasa dekat dengan lingkungan yang mereka kenal sejak kecil.
Selain literasi dasar, ada sesi untuk membangun kepercayaan diri. Mereka diminta membaca puisi, bercerita, atau bermain peran, supaya mereka terbiasa berbicara di depan orang lain.
Yang tak kalah penting, para relawan memberi pendampingan emosional. Jadi anak-anak tidak hanya diarahkan tapi juga didengarkan. Dari situ, mulailah tumbuh perasaan aman dan keyakinan bahwa sekolah ini bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah yang bisa menerima mereka apa adanya.
Peran Relawan di Balik Layar
Yang membuat sekolah ini tetap hidup sampai hari ini bukan sekadar visi, tetapi gotong royong. Selain delapan pendiri awal, ada relawan pengajar yang datang silih berganti, menyumbangkan tenaga, waktu, atau bahkan hanya membawa buku.
Para relawan tidak semuanya berlatar belakang pendidikan. Ada mahasiswa, pemuda kampung, sampai pekerja harian yang menyisihkan sore mereka untuk ikut mengajar atau mendampingi kegiatan baca.
Dari Anak yang Tak Bisa Membaca Menjadi Pelopor Sekolah Pesisir
Tidak ada yang lebih meyakinkan masyarakat selain melihat hasilnya sendiri. Dampak Sekolah Pesisi Juang tidak hadir dalam bentuk bangunan permanen atau fasilitas modern, tapi juga hadir dalam bentuk kecil, sederhana, tetapi mampu mengubah hidup.
Misalnya, anak yang tadinya tidak bisa membaca nama sendiri, kini sudah membantu adiknya menulis huruf pertama. Anak lain yang dulunya takut bertemu orang asing, kini berani membaca doa di hadapan masyarakat saat acara kampung. Ada pula yang mulai bermimpi menjadi guru, tenaga kesehatan, bahkan pelaut profesional yang paham teknologi navigasi.
Bagi sebagian orang kota, kemampuan membaca di usia 8–10 tahun mungkin tampak biasa. Tapi di kampung pesisir yang pendidikan sering tertunda karena tekanan ekonomi, hal ini dianggap luar biasa.
Pendidikan sebagai upaya mencegah “pewarisan kemiskinan”
Di banyak wilayah pesisir, kemiskinan bukan hanya soal ekonomi, tetapi pola hidup yang diwariskan turun-temurun.
Tidak sekolah → menikah muda → bekerja seadanya → kembali miskin.
Jauhari percaya rantai itu hanya bisa diputus dengan pendidikan.
“Kalau anak-anak tidak diberi kesempatan, mereka bukan hanya kehilangan ilmu, tapi kehilangan kemungkinan,” katanya.
Melalui Sekolah Pesisi Juang, anak-anak mulai melihat bahwa ada alternatif masa depan selain melaut sejak kecil. Mereka diajak membayangkan hidup lain yang mungkin, bukan untuk meninggalkan identitas sebagai anak nelayan, tetapi agar mereka memiliki pilihan, bukan keterpaksaan.
Astra Award untuk Jauhari Tantowi
PT Astra International Tbk., melalui SATU Indonesia Awards, memiliki prinsip penilaian yang tidak hanya melihat program, tetapi dampak sosial dan keberlanjutan. Sekolah Pesisi Juang dinilai memenuhi berbagai pertimbangan.
Dengan kata lain, Astra tidak hanya melihat “siapa” yang menjalankan programnya, tetapi mengapa program itu penting? Dan, Jauhari menjawab kebutuhan yang selama ini luput dari perhatian negara maupun lembaga formal.
Ketika Astra menganugerahkan SATU Indonesia Award 2024 di bidang Pendidikan kepada Jauhari Tantowi, itu bukan sekadar piagam. Itu adalah pengakuan bahwa inisiatif akar rumput, sekecil apa pun, mampu menjadi katalis perubahan bila dijalankan dengan ketekunan.
Program seperti SATU Indonesia Awards ada agar cerita seperti Sekolah Pesisi Juang tidak berhenti di satu desa, tetapi menular menjadi inspirasi bagi individu maupun komunitas lain.
Bila kamu membaca artikel ini dan merasa ada hal kecil yang ingin kamu perbaiki di lingkunganmu, entah itu pendidikan, kesehatan, lingkungan, UMKM, budaya, atau teknologi, yuk lakukan perubahan meski itu tak bernilai besar di mata orang lain. Siapa tahu, di tahun-tahun mendatang, cerita yang saya tulis berikutnya adalah ceritamu. Jangan lupa daftarkan dirimu di https://www.astra.co.id/ ya.


